25 Agu 2018

APA LANDASAN TERKUAT KITA MEMILIH SEPAKAT UNTUK BERSATU?



Jika ada seseorang bertanya kepadamu tentang landasan kita memilih sepakat untuk bersatu, kira-kira apa jawabanmu?

Ohya, sebelum aku mendengarkan seluruh jawabanmu, aku ingin pertanyaan itu dihadapkan kepadaku terlebih dahulu; dan aku akan menjawab dengan seterang-terangnya, semampuku.

Kau tahu, bagaimana konsep landasan agar kuat dan tak mudah runtuh? Bagiku, sesuatu apapun akan kuat dan tak mudah runtuh jika landasannya pun kuat dan kokoh. Suatu kasus, misalnya. Mengapa banyak terjadi tawuran antarsupporter sepak bola, padahal mereka satu negara dan bahkan seagama? Ada lagi: mengapa banyak perang antarsuku, permusuhan antargeng atau komunitas, dan perseteruan lainnya; kira-kira mengapa semua itu terjadi?

Sebelum kelak aku memintamu untuk berpendapat tentang hal ini, aku benar-benar ingin semuanya dihadapkan kepadaku terlebih dahulu. Aku akan mencoba menjawab semua pertanyaan itu dengan pemahamanku sebagai seorang pembelajar tentang segala sesuatu. Kelak, kau akan tahu salah satu karakterku dalam memperoleh sesuatu.

Bagiku, landasan itu ada hubungannya dengan ikatan. Sementara jenis-jenis ikatan itu ada beberapa macam menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang Ulama, Politikus Muslim rujukanku dalam ilmu dan gerakan politik.

Disebutkan oleh beliau, jenis ikatan pertama adalah nasionalisme. Ikatan nasionalisme terjadi tatkala manusia hidup berdampingan dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Di dalam ikatan ini, naluri mempertahankan diri berperan dan mendorong manusia untuk membela negaranya, tempat mereka lahir dan tempat mereka melanjutkan kehidupan setiap harinya. Dari sinilah ikatan nasionalisme itu bermula. Semisal ketika ada manusia dari negara lain mencoba mengancam untuk menyerang dan menaklukkan negara tertentu, maka ikatan ini menguat. Tetapi, jika tak ada ancaman apa-apa, maka ikatan ini melemah, bahkan sirna. Demikian lemahnya nilai dari ikatan ini.

Kedua, adalah ikatan kesukuan (sukuisme). Ikatan kesukuan ini hampir mirip dengan ikatan kekeluargaan; hanya saja sedikit lebih luas. Di dalam ikatan ini, naluri mempertahankan diri berperan dan mendorong manusia untuk berkuasa atau berebut kekuasaan, sehingga besar kemungkinan muncul sifat fanatisme golongan. Lebih lanjut, kata Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (2006: 40), mereka dikuasai oleh hawa nafsu dalam usahanya membela anggotanya terhadap anggota suku yang lain. Dengan demikian, ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia. Ikatan ini senantiasa menimbulkan berbagai pertentangan intern, kalau tidak disibukkan dengan berbagai perselisihan dengan pihak luar (keluarga, suku, bangsa, dan lain-lain). Maka, tidak jarang kita temukan berbagai permusuhan, peperangan, dan perseteruan antarsuku.

Ketiga, adalah ikatan kemaslahatan. Ikatan kemaslahatan ini sifatnya hanya sementara. Dan berbahaya jika digunakan untuk mengikat antara manusia satu dengan manusia lain; padahal tujuannya adalah kebaikan dan berharap langgeng kebaikan itu diperjuangkannya. Sebab, ikatan ini landasannya adalah kepentingan. Sementara kepentingan itu bisa selesai dan pada akhirnya—boleh jadi—akan tercapai. Jika kepentingan itu tak ada lagi, maka berakhirlah ikatan antara anggotanya. Tak ada lagi yang peduli antara satu dengan yang lain. Selesai.

Keempat, adalah ikatan kerohanian yang tidak memiliki peraturan; dan aktifitasnya hanya terbatas pada kegiatan spiritual saja. Ikatan ini abai dengan aktifitas lainnya, seperti kehidupan sehari-hari. Sebab, di dalam ikatan ini tidak mempunyai aturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang ada. Maka, ikatan ini tidak layak dijadikan pengikat yang kuat untuk mencapai sebuah kebangkitan atau kemajuan. Karena sudah jelas bahwa landasan ikatan ini terbatas dan hanya menyentuh wilayah-wilayah tertentu saja. Jadi, tak bisa digunakan sebagai landasan untuk mencapai cita-cita dalam sebuah kesepakatan persatuan.

Terakhir, dijelaskan oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (2006: 42) bahwa ikatan yang benar untuk mengikat manusia dalam kehidupannya adalah aqidah aqliyah (akidah yang sampai proses berpikir) yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Inilah yang disebut sebagai ikatan ideologis (berdasarkan pada suatu mabda/ideologi). Mudahnya, ikatan ideologis ini berhubungan dengan mabda/ideologi. Sementara landasannya adalah akidah yang dihasilkan dari proses berpikir sebelumnya; dan yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Tentang akidah dan ideologi, barangkali esok akan aku ceritakan kepadamu.

Lantas, mengapa banyak terjadi tawuran antarsupporter sepak bola, padahal mereka satu negara dan bahkan seagama? Mengapa banyak perang antarsuku, permusuhan antargeng atau komunitas, dan perseteruan lainnya; kira-kira mengapa semua itu terjadi?

Sampai di sini, aku harap kau tahu dan paham tentang bagaimana aku akan menjawab semua pertanyaan itu.

Satu pertanyaan besar yang belum sepenuhnya kujawab: apa landasan terkuat kita memilih sepakat untuk bersatu?

Tentu sejak awal kau tahu, aku memilihmu bukan karena kita satu negara, bukan karena kita satu suku, bukan karena bisnis tawar-menawar kemaslahatan dan kepentingan lain, juga bukan karena aktifitas spiritual semata. Akan tetapi, karena kita meyakini bahwa manusia, alam semesta, dan kehidupan tak diciptakan tanpa karena. Kita percaya bahwa dengan bersatu, manusia saling bertemu; berbagi kasih sayang; mengumpul pahala menjulang. Alam semesta pun menjadi rumah dan tempat bertumbuhnya kebaikan-kebaikan amal ibadah. Serta kehidupan berjalan dengan kaki-kaki yang kuat; kaki-kaki yang menopang tubuh kehidupan dengan amanah Tuhan di pundaknya, dengan visi terbaik dan misi paling mulia: mengajak dan menyeru! Barangkali lusa akan kusampaikan ulang atau kita baca berdua perihal visi dan misi yang telah kita tuliskan dalam selembar kertas—yang kita simpan—tatkala awal memutuskan untuk berkenalan satu sama lain.

Lantas, apa landasan terkuat kita memilih sepakat untuk bersatu?

Sebagaimana nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauzy tentang konsep kekutan sesuatu itu tergantung bagaimana kuatnya landasannya. Barangkali aku akan kan menyederhanakannya dengan kata-kata dan bahasaku sendiri; agar kau tahu bagaimana caraku menjelaskan tentang segala sesuatu kepada seseorang yang kupilih sebagai pendamping hidupku sendiri.

Kurang lebih seperti ini konsepnya: jika ingin cinta itu bertahan dan kuat sampai kapan pun jua, maka carilah landasan yang juga kuat sampai kapan pun jua. Jika mau cinta itu terus ada dan hidup kekal selamanya, maka carilah landasan yang juga terus ada dan hidup kekal selamanya. Jika berharap cinta itu tak terbatas oleh sekat apapun saja, maka carilah landasan yang tak terbatas oleh apapun saja. Dan sungguh, tak ada mampu bertahan dan kuat sampai kapan pun saja, tak ada yang akan terus ada dan hidup kelal selamanya, dan tak ada yang tak terbatas oleh apapun saja, kecuali hanya satu: Allah Yang Mahaperkasa, Allah Yang Maha Kekal, dan Allah yang mempunyai sifat azali; tak berawalan dan tak berakhiran. Dan Dialah Allah, sebagai landasan terkuatku memilih sepakat untuk bersatu, hidup bersamamu. Kau tahu itu. Aku mencintaimu karena Allah.

*

Mencintai karena fisik, barangkali hanya akan bertahan beberapa puluh tahun saja. Boleh jadi, sepuluh tahun pertama bersama, cinta itu akan surut seiring kulit yang berkerut. Cinta itu akan lambat laun akan berkurang seiring gigi tua yang mulai jarang. Cinta itu akan meniada seiring rambut putih yang renta. Cinta itu tak akan lama jika fisik sebagai landasan cintanya.

Mencintai karena harta, barangkali hanya akan bertahan sementara; dan hal ini sungguh sangat membahayakan. Sebab, jika landasan cintanya adalah karena ada harta, kelak jika harta itu lenyap maka akan lenyap pula cinta itu.

Mencintai karena apapun saja selain Allah, maka cinta itu pada akhirnya akan lekas binasa—semua hanya soal waktu. Sebab, pada akhirnya, dunia dan segala isinya akan menemu ajalnya masing-masing.

Malang, 25/08/18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar