JURNAL KUTIPAN

saya ingin jadi lebah
kerja baca-kutip-tulis
adalah upaya
Agoy Tama

“Sungguh Allah suka jika diambil rukhshahNya.” —Salim A. Fillah

“Jangan pernah berpikir seandainya saya begini atau begitu, saya pasti akan mengerjakan semua ini lebih baik. Kerjakan dulu yang terbaik, kamu akan jadi seperti yang kamu kerjakan itu.” —Fahd Pahdepie

“Ya Allah, tambahkan kepada kami ilmu, anugerahkan pada kami pemahaman, dan tuntunlah kami untuk menjaga adab karenaMu di segala keadaan.” —Salim A. Fillah

“Karena kita semua adalah Duta Besar Islam untuk semesta. Akhlaq kitalah yang pertama kali dilihat sebagai perwakilan kebenaran yang kita imani, jalan hidup yang kita bela, dan ibadah yang kita baktikan.” —Salim A. Fillah

“Iman itu ada akarnya, namanya keyakinan. Keyakinan itu dihidupkan dg ilmu lalu menjadi amal shalih; amal shalih untuk menggapai langit, memperkenalkan diri kita kepada Allah dan makhluk-makhluk mulia di sekitarnya sampai kita terkenal di langit daripada di bumi.” —Salim A. Fillah

“Segala amal yang bermanfaat bagi sesama manusia, maka kita mendapatkan pahalanya.” —Salim A. Fillah

“... Setiap orang adalah guru bagi kita. Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat.” —Salim A. Fillah

“Sebab amat indah hati seorang hamba, yang takut tapi rindu, yang harap tapi malu, dan yang mencinta tapi merasa hina di hadapanNya.” —Salim A. Fillah

“Khawatir tentang dunia adalah kegelapan di dalam dada. Tetapi gelisah soal akhirat adalah cahaya yang menerangi jiwa.” —Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan, Radhiyallaahu ‘Anhu

“Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.” —Sutardji Calzoum Bachri

“Alangkah buta penduduk bumi. Mereka sendiri bilang 'maya', tetapi tidak menemukan kehidupannya sebagai 'fana'.” —Emha Ainun Najib

“Menang kalahnya seseorang, atau sukses gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin, melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap kekayaan atau kemiskinan.” —Emha Ainun Najib

“Pujian tentu menyenangkan. Tapi juga bisa membius hingga lupa diri. Paling baik tetap sadar-diri. Kita harus siap mental untuk dicela dan dipuji.” —Joko Pinurbo

“Saya lebih suka mengatakan bahwa pergulatan hidup kita sehari-hari termasuk aktivitas kerja cari duit, ronda, dll. merupakan bagian penting dari sumber ilham bagi proses kreatif kita.” —Joko Pinurbo

“Baca baik-baik karya pendahulu. Pelajari ilmunya, cermati jurus-jurusnya, temukan celah-celah yang masih bisa digarap, lalu cobalah bikin jurus-jurus yang lain atau beda (untuk tidak mengatakan baru). Pelihara terus naluri puitik dengan berbagai cara. Dan tahan bantinglah. Kepenyairan dan kepengarangan membutuhkan tidak hanya bakat tapi ketajaman nalar dan daya tahan mental. Jangan bernafsu ingin cepat terkenal atau jadi 'tokoh'.” —Joko Pinurbo

“Seringkali sajak yang ditulis dengan membawa pertanyaan-pertanyaan kritis akan membuka banyak ruang pemaknaan baru yang segar dan kadang juga mengejutkan.” —Hasan Aspahani

“MISALNYA, pada zaman yang sama dengan Chairil Anwar, hidup seseorang yang menulis puisi yang sangat bagus tapi dia tak pernah menyiarkan karya-karyanya hingga ia meninggal. Karyanya pun hilang tak pernah dibaca oleh siapapun. Sehebat apapun karyanya, penulis puisi itu tidak menyumbangkan apa-apa bagi perkembangan sastra Indonesia.” —Hasan Aspahani

“Puisi esai adalah batu gamping yang terus digosok-gosok agar tampak berkilau dan kemudian disebut-sebut sebagai sejenis intan yang baru.” —Hasan Aspahani

“Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi banyak yang tetap tak terbeli dengan uang.” —Hasan Aspahani

“Gagasan puisi esai seperti gagasan mengembalikan becak ke sistem transportasi dan disebut-sebut itu sebagai gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan mobilitas di ibukota.” —Hasan Aspahani

“Puisi esai adalah penyakit.” —Hasan Aspahani

“Buku puisi adalah galeri bagi pelukis. Pelukis datang untuk berpameran di galeri. Ia datang ke sana dengan konsep. Ia ingin berkomunikasi dengan para pengunjung galeri yang ingin mengapresiasi lukisannya.” —Hasan Aspahani

“Dengan amsal itu, pada kekuatan konsep itulah sesungguhnya kualitas seni puisi dipertaruhkan, dan reputasi kepenyairan ditunjukkan.” —Hasan Aspahani

Karena ada yang mesti diucapkan demi kecintaan
Karena ada yang mesti dikidungkan demi keyakinan
Istirah usai kerja ialah upah ketekunan
Suara tulus menghibur di gelisah kehidupan
Soeparwata Wiraatmadja (l. 1938)
“Puisi adalah bahasa percakapan yang memeluk pesan dengan erat, lalu melepasnya di dalam hati tanpa jerat.” —Agoy Tama

“Tulisan yang baik menurut saya yang membantu kita memahami kedalaman batin.” — Ayu Utami

“... buat saya, kita sebagai manusia, bukan hanya sebagai penulis, memang harus memiliki nilai yang kita asah dan kita jaga. Kalau itu yang dianggap idealisme, maka idealisme itu bukan untuk sebagai penulis tetapi sebagai manusia.” —Ayu Utami

“Bahasa itu adalah pikiran itu sendiri. Tanpa bahasa kita tidak bisa mikir.” —Ayu Utami

“Pikiran itu juga adalah alat kekuasaan, sehingga, siapa yang berkuasa, akan menggunakannya. Karena itu, kita juga harus menguasai bahasa supaya kita tidak ditipu oleh orang-orang luar, pihak lain yang memanipulasi, jadi kita sendiri harus tahu bagaimana pikiran dan bahasa itu bekerja agar kita tidak gampang dimanipulasi oleh yang lebih mampu atau berkuasa.” —Ayu Utami

“... tantangan terdalam seorang penulis menurut saya adalah tidak berani untuk melihat lebih dalam pada dirinya sendiri." —Ayu Utami

“... menulis itu adalah proses berpikir dan kesadaran itu sendiri.” — Ayu Utami

“Jadi memang kalau mau melihat tulisan sastra itu, ya tulisan yang mampu melihat kedalaman dan kompleksitas manusia dan ditulis dengan keterampilan yang tinggi.” — Ayu Utami

“Hal yang paling menyenangkan dalam menulis itu, kamu akan bisa mengubah segala macam untuk keuntunganmu sendiri karena menjadi tulisan.” — Ayu Utami

"Saya menulis puisi seperti puisi-puisi yang saya senang membacanya dan menulis prosa seperti prosa-prosa yang saya senang membacanya." — Dea Anugrah

"Penulis-penulis terampil memilih gaya, termasuk gaya yang rumit, dengan kesadaran bahwa gaya itu akan ikut menentukan makna ceritanya. Mereka berhitung. Di sisi lain, penulis-penulis buruk bekerja mengandalkan kebetulan. Kalau hasilnya bagus, kebetulan. Kalau buruk, ya, sudah semestinya begitu. Dan tidak semua bacaan yang membingungkan itu rumit. Sebagian cuma berantakan, sebab penulisnya tidak paham apa yang ia kerjakan." — Dea Anugrah

"Yang terpenting dalam alih wahana itu kan tafsir." — Dea Anugrah

"Sekarang agaknya yang melingkupi kita terutama bukan lagi rasa takut kepada bayang-bayang negara, melainkan kebingungan memisahkan “yang benar” dari “yang palsu”, “yang penting” dari “yang cuma kelihatan penting”, dan sebagainya—seperti mencari buku yang dapat dibaca di Perpustakaan Babel." — Dea Anugrah

"Penerjemah semestinya tak hanya memahami bahasa asal karya, tetapi juga konteks waktu ketika karya itu diciptakan (kata virtual dalam puisi “The Prelude” karya William Wordsworth, misalnya, berarti kuat, bukan maya), visi sang penulis, dan lain-lain." — Dea Anugrah

"Writer’s block itu seperti dosa. Kalau kita tidak memikirkannya, ia tidak ada. Seperti kata Szymborska: dua puluh tujuh tulang, tiga puluh lima otot, dan dua ribu saraf pada tiap ujung jari-jari kita sudah lebih dari cukup untuk menulis apa saja." — Dea Anugrah

"Perkara media sosial agak ruwet. Pada satu sisi ia memudahkan kita bergaul dan berjualan, tapi di sisi lain ia menimpuk kita dengan banyak sekali urusan yang kita tidak perlukan. Media sosial bisa menggiring seorang penulis untuk menulis seperti keinginan khalayak alias menjadi penyambung lidah netizen. Apakah perbedaan netizen dan gerombolan biri-biri? Kadang, suara biri-biri enak didengar dan perlu." — Dea Anugrah

"Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun." — Hasan Aspahani

"Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa." — Sapardi Djoko Damono

"Menerjemahkan itu latihan menulis." — Sapardi Djoko Damono

"Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri." — Sapardi Djoko Damono

"Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi." — Sapardi Djoko Damono

"Semua tafsir memperkaya sajak." — Sapardi Djoko Damono

"Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit." — Rainer Maria Rilke

"Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu." — Rainer Maria Rilke

"Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu." — Rainer Maria Rilke

" Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu." — Rainer Maria Rilke

" Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata." — Rainer Maria Rilke

"Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya." — Rainer Maria Rilke

"Itulah cinta ibarat bensin yang menggerakkan mesin."  — Abu Al-Ghifari, 2002: 12

"Tapi tidak sedikit manusia yang seperti binatang, menganggap cinta adalah seks. Tak heran jika muncul perilaku binatang; kumpul kebo, pelacuran, dan pacaran yang jauh dari hakikat cinta itu sendiri." — Abu Al-Ghifari, 2002: 13

"Mengapresiasi artinya menghargai. Menghargai itu pertama-tama adalah iktikad baik, sikap, solidaritas, baru kemudian kemampuan atau kapasitas untuk bisa menghargai." — Emha Ainun Najib

"Penonton tidak memerlukan apa-apa kecuali keinginan untuk memuaskan seleranya yang sesaat, sedangkan apresiasi memerlukan “qiraah” (kemampuan dan kesediaan membaca apa yang sedang berlangsung beserta segala sesuatu yang melatari dan menjadi tujuan prosesnya) dan ro’iyah (kapasitas dan kemampuan mencontoh sikap-sikap seorang pemimpin dalam setiap proses memahami kebudayaannya sendiri)." — Emha Ainun Najib

"Kita terlalu banyak mikir-mikir segala keislaman yang bagus. Pada saat yang sama perilaku kita, kebudayaan kita, sistem-sistem hubungan kemanusiaan kita, belum teracik menjadi suatu bangunan islami seperti yang selalu kita gembor-gemborkan." — Emha Ainun Najib

"Kita ingin masuk surga dengan sekali lompat, itu pun kita tidak bersedia melompat dengan kaki kita sendiri. Kita ingin ada tali entah dari mana yang mengerek kita ke surga. Artinya, dalam mekanisme intelektual, kita bersikap menunggu respons. Dalam proses kebudayaan, kita bersikap konsumtif. Itu pun dengan kadar ketidaksabaran yang menjijikkan." — Emha Ainun Najib

"Kalau Anda menjumpai karya sastra, itu juga bukan berasal dari para sastrawan mendadak, melainkan tahap dari pengalaman dan kelahiran mereka yang baru." — Emha Ainun Najib

"Qiraah dan roi’yah dilahani untuk berproses betul dalam manusia para santri. Baik qiraah terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap persoalan-persoalan lingkungan mereka, dari kebudayaan sehari-hari sampai politik besar. Tanpa mengerti bagaimana menjalani iqra ini maka kita menjadi tetap “jahiliah”." — Emha Ainun Najib

"Betapa ayat Al-Qur’an seluruhnya berlaku kontekstual dan substansial bagi setiap seniman dan karya seni." — Emha Ainun Najib

“Keyakinan akan firman Allah membutuhkan proses conditioning iman. Memerlukan cuaca ketaatan kepada Allah di segala bidang. Sedemikian rupa sehingga kita dekat sekali dengan segala kehendak Tuhan. Itulah yang tak ada di negeri kita…,” kata Mat Sudi di akhir khutbahnya. — Emha Ainun Najib

“Masing-masing orang diberikan kemampuan sesuai dengan kehendak-Nya dan selaras dengan perjalanan kisahnya.” — Abdul Majid Aziz Azzindani, Jalan Menuju Iman, hlm. 12

"Bagi Joko Pinurbo, puisi yang inspiratif adalah puisi yang bukan hanya memperkaya cara pandang kita terhadap berbagai persoalan hidup, melainkan juga yang menawarkan kemungkinan lain mengenai cara berpuisi." — Indonesia Tera

"Mungkin itu pelajaran pertama saya tentang puisi: kita tak perlu paham untuk terpikat pesonanya." — Hasan Aspahani

"Saya merasa harusnya saya juga bisa menulis puisi, membuat satu teks tentang sesuatu dengan bahasa biasa tapi dengan cara tertentu, cara yang kelak saya pahami sebagai perangkat puitika, dan dengan cara itu bisa membangkitkan pesona." — Hasan Aspahani

"Begitulah, bahasa berevolusi. Untuk bahasa Indonesia dengan perkembangan secepat dan sepesat ini, barangkali bisa dikatakan yang terjadi adalah revolusi bukan evolusi." — Hasan Aspahani

"Menyair, saya percaya, adalah usaha membuka jalan ke masa depan bahasa." — Hasan Aspahani

"Puisi pada hakikatnya adalah jalan sunyi. Hal-hal yang mudah sekali terabaikan." — Hasan Aspahani

"Ada dua hal bagi kita yang membuat kita tertarik pada sesuatu: bakat dan minat." — Hasan Aspahani

"Minat yang terus tumbuh itu mengatasi bakatku yang cekak." — Hasan Aspahani

"Saya memperkaya diri dengan hal-hal yang membuat saya terus mencintai dan betah di dunia puisi. Saya membangun perpustakaan kecil, melengkapi buku-buku puisi dari penyair yang saya gemari, yang diam-diam saya curi jurus-jurusnya. Iya, betul, mencuri." — Hasan Aspahani

"Saya tak cemas jika karena satu dan lain hal saya harus berhenti menulis, sebelum dihentikan kematian. Saya ingin terus menulis, bila mungkin, dan saya terus berusaha memungkinkan itu." — Hasan Aspahani

"Yang penting adalah – seperti yang dikatakan penyair besar kita Sutardji Calzoum Bachri – kita menyadari bahwa menyair adalah suatu pekerjaan serius. Tapi dia katakan penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja." — Hasan Aspahani

"Kemudian, dalam Kamus Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman menuliskan bahwa entri licentia poetica mengartikan ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan, untuk mencapai suatu efek’." — Yudhistira

"Pengarang bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk menyimpang dari kenyataan." — Yudhistira

"... batasan lisensi puitis adalah kesadaran pengarang, baik penyair, penulis, maupun pekerja kreatif lainnya." — Yudhistira

"Lisensi puitis sebaiknya tidak menjadi alasan untuk membenarkan ketidaktahuan kita yang lantas mendorong laku penyimpangan tanpa tujuan." — Yudhistira

"Apabila kita tidak mengetahui efek apa yang ingin kita tuju, berarti penyimpangan yang kita lakukan bukanlah lisensi puitis, melainkan ketidaksengajaan semata." — Yudhistira

"Karena saya pernah ingat kritikus sastra Prancis Charles Augustin Sainte-Beuve (1804 – 1869) pernah mengatakan bahwa dalam diri setiap manusia ada jiwa penyair, yang keburu mati muda." — Hasan Aspahani

"Saya lebih percaya, bahwa penyair dalam diri itu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya mati suri." — Hasan Aspahani

"Saya percaya, anak kecil adalah penyair yang luar biasa. Sambil mengumpulkan kata-kata yang pertama, anak kecil belajar mengucapkan sajak-sajaknya yang pertama." — Hasan Aspahani

"Kematian penyair dalam diri kita itu bisa jadi terbunuh oleh kemalasan kita untuk mencari pengucapan baru. Memang kita bukan anak kecil lagi. Anak kecil selalu mencari dan belajar mengucapkan apa saja: lapar, haus, panas, dingin, sepi, bosan dan bayi mengucapkan dengan berbagai cara yang bisa ia temukan. Keinginan untuk mencari dan menemukan pengucapan itulah yang mestinya dipertahankan dari bayi dalam tubuh dewasa kita." — Hasan Aspahani

"Copying is how we learn." — Austin Kleon

"You start when you’re young and you copy. You straight up copy." — Shel Silverstein

"All artists begin by copying." — Austin Kleon

"One of the best ways to internalize someone’s work is to copy it by hand." — Austin Kleon

"Copy out things that you really love. Any book. Put the quotation marks around it, put the date that you’re doing the copying out, and then copy it out. You’ll find that you just soak into that prose, and you’ll find that the comma means something, that it’s there for a reason, and that that adjective is there for a reason, because the copying out, the handwriting, the becoming an apprentice—or in a way, a servant—to that passage in the book makes you see things in it that you wouldn’t see if you just moved your eyes over it, or even if you typed it. If your verbal mind isn’t working, then stop trying to make it work by pushing, and instead, open that spiral notebook, find a book that you like, and copy out a couple paragraphs." — Nicholson Baker

"Hand copying a document can produce an intimate connection to the text and its meaning. The handwriter may discover things about this document that they never knew, a passage that challenges or moves them. They may even leave with a deeper connection to the founders and the country, or even a sense of encouragement." — Morgan O'Hara

"I think copying someone’s work is the fastest way to learn certain things about drawing and line. It’s funny how there is such a taboo against it. I learned everything from just copying other people’s work." — Lynda Barry

"Aku terhadap ilmu seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayangnya yang tersayang dan hilang. Dan ketika menyimak ilmu, sungguh aku berharap bahwa seluruh tubuhku adalah telinga." — Imam Asy Syafi’i

"Demikianlah sebab guru yang mandeg belajar adalah murid yang paling gagal. Berhenti memburu ilmu adalah cela bagi yang tua dan celaka bagi yang muda." — Salim A. Fillah

"'Jadikan ilmu sebagai garamnya, dan Adab itulah tepungnya', kata Imam Asy Syafi’i menggambarkan 'roti' penopang kehidupan." — Salim A. Fillah

"Hampir-hampir Adab itu senilai duapertiga agama." — Imam Ibn Al Mubarak

“Pada seorang Guru yang sebenar berilmu, akan kau reguk Adab yang tak disediakan oleh buku-buku.” — Ibn ‘Athaillah As Sakandary

"Walau telanjur kita dianggap berilmu, jangan malu untuk berkata 'Aku tak tahu', dengannya Allah-lah yang kan jadi Sejatinya Guru, membimbing kita selalu." — Salim A. Fillah

"You can make anything by writing." — C.S. Lewis

"Ada cinta di dunia itu universal, tetapi seperti apa cinta dan dari mana asalnya itu partikular." — Bagus Takwin, Bermain-main dengan Cinta

"Ini taat aja engga, tapi merasa dikekang oleh agama. Logikanya di mana?" ― Zaky A. Rivai

"Kalau kamu mau hidup bebas, maka kamu harus bersiap dengan kebebasan orang lain juga." ― Zaky A. Rivai

"Untuk membuatnya bisa berjalan, setiap gagasan harus diberi kaki. Untuk membuatnya bisa berlari hingga batas-batas yang terjauh, kau harus membuatnya berkeringat." — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 194

"Semua yang kau beri akan kembali. Semua yang kau minta akan menagih." — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 197

"Jadi, menulis puisi adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang tak terkontrol oleh nalar.” — Joko Pinurbo, Berguru kepada Puisi, hlm. 14

“Kepulangannya cuma fisik belaka, lantaran jiwanya masih terpaut di seberang sana. Dalam kata-kata A. Teeuw (1980), ‘kembali tapi tidak pulang’. Ironi semacam inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu daya pikat puisi Sitor.” — Joko Pinurbo, Berguru kepada Puisi, hlm. 17

“Kalau kini hidup terasa begitu baik, begitu membahagiakan, saya merasa bahwa saya adalah laki-laki yang diselamatkan oleh pemikirannya, dlindungi oleh tulisannya dan kata-katanya, diberkati oleh air mata istrinya!” — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 206

“Rizqa tersenyum. 'Pada waktunya, kamu akan punya banyak waktu, kok. Tapi, jangan salahkan anak-anak jika saat itu tiba, mereka yang nggak punya waktu.'” — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 214

“Menurut saya, tak ada kompetisi dalam hubungan suami-istri. Sebab kita berada di tim yang sama, tidak sedang berlomba." — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 220

“Orang cenderung ingin didengarkan tetapi gagal ketika harus mendengarkan.” — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 230

“Bahwa memprioritaskan kebahagiaan dan kesuksesan keluarga, kadang-kadang jauh lebih penting dari menghabiskan waktu untuk urusan-urusan yang terlihat besar dan megah, seperti kantor, organisasi, dan lainnya.” — Fahd Pahdepie, Muda Berdaya Karya Raya, hlm. 231

"adalah pohon yang menetap di kakinya,
istana bagiku kelak."
— Widya Mareta, Puasa Puisi, "Pohon Ibu", hlm. 21

“Tidak perlu diingkari, seorang penyair sesungguhnya banyak belajar, dan sering mendapat pencerahan, dari karya penyair-penyair lain.” — Joko Pinurbo, Berguru kepada Puisi, hlm. 31

“Puisi, di samping yang lain-lain, meminta kemampuan kepada kita untuk menyodorkan atau menuliskan pengalaman dengan cara tertentu.” — Saini K.M

“Kalau kamu tertarik, menulislah. Tanpa memikirkan kaidah puisi itu apa dan bagaimana. Ikuti saja intuisimu. Baca puisi yang baik sebanyak-banyaknya, kamu menyukai puisi karena tertarik pada teorinya atau karena terpesona pada puisi yang kamu baca? Pasti karena puisi yang kamu baca, kan? Nah, selanjutnya kalau kamu benar-benar mencintai puisi maka kamu harusnya akan mencari informasi lebih banyak tentang apa yang kamu cintai itu agar kamu bisa mencintai dan menggaulinya dengan lebih sebaik-baiknya.” — Hasan Aspahani

“If a book is tedious to you, don’t read it; that book was not written for you.” —Jorge Luis Borges

“The intellectual is, quite simply, a human being who has a pencil in his or her hand when reading a book.” —George Steiner

“Jika hati sudah rusak, niscaya rusaklah kehendak, ucapan, dan amal perbuatan. Selain itu, rusak pula pos tauhid ....” —Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ad-Daa` wad Dawaa`, hlm. 487

“Formula menulis puisi: metafora, metafora, dan metafora.” —Bernard Batubara

“Kata itu netral. Tafsir manusia membuatnya berpihak. Imajinasi warganet membuatnya liar. Kendalikanlah!” —Ivan Lanin

“Bila simile seakan perbandingan yang ragu, maka metafora adalah penyamaan yang tegas. Bila simile berpola A seperti B, maka metafora berpola A adalah B. Menurut I.A. Richards dalam “The Philosophy of Rhetoric” (1936), metafora terdiri dari dua bagian: tenor dan vehicle. Tenor adalah subjek yang hendak dijelaskan dengan sifat-sifat tertentu. Sedangkan vehicle adalah subjek lain yang sifat-sifatnya dipinjam untuk memperjelas. Ini hanya sekedar istilah. Penulis lain memakai istilah ground untuk tenor, dan figure untuk vehicle.” —Hasan Aspahani

“... mau sesulit apapun kata-katanya, mau sesulit apapun bentuk puisinya, sebisa mungkin sisipkan satu atau dua referensi interteks atau alusi yang bisa buat orang 'Oh ini maksudnya'.” —Adimas Immanuel

“... umumnya penyair-penyair kenamaan memiliki frasa yang menjadi simbol dan karakter buat dirinya sendiri. Yang dimaksud di sini, misal, Chairil Anwar dengan ‘jalang’ , Amir Hamzah dengan ‘sunyi’, Seno Gumira dengan ‘senja’ dan Joko Pinurbo dengan ‘celana’. Tentu saja, Sapardi teguh-teduh dengan serba-serbi ‘hujan’.” —kumparanNEWS

“... media sosial akan menjadi wadah yang baik bagi penciptaan puisi-puisi seandainya para penulis sendu itu mempunyai semangat berkarya seperti para penyair besar.” —Arip Apandi

“... semua penyair besar adalah mereka yang punya kebiasaan maniak membaca. Sapardi itu pembaca puisi-puisi Shakespeare.” —Arip Apandi

“Pembacaan para penyair besar Indonesia itu berangkat dengan etos memilih, mengupas, dan membuang. Etos di situ adalah pertemuan mereka dengan karya-karya para pendahulunya; membaca puisi-puisi kelas dunia; membuang remah-remahnya; lalu menerapkan sesuatu yang berguna pada konsep kepenulisan mereka sendiri. Dengan begitulah para penyair besar Indonesia menjadi besar. .” —Arip Apandi

“Tentu, semua orang bebas meluapkan ekspresinya di media sosial. Akan tetapi, menumpahkan ekspresi ke dalam bentuk puisi itu ada syaratnya: membaca, membaca, dan membaca.” —Arip Apandi

“... tidak hanya sekadar membaca, namun juga mesti diiringi dengan semangat mengulik dan mempelajari bagaimana mereka para penyair besar menyampaikan rindu, cinta, dan kesepian dalam puisi-puisinya.” —Arip Apandi

Oleh sebab itulah, sering kita mendengar bahwa “kesenian itu gunanya untuk mengasah hati nurani dan kehalusan budi”. Dua hal itu merupakan nukleus dari “budaya”. —Emha Ainun Nadjib

“Bagi saya menulis sastra, khususnya puisi, seperti halnya menuliskan ‘wejangan’ atau ‘pitutur’ bagi pembacanya.” —Aming Aminoedhin

“Saya menulis puisi bermaksud menyalurkan pikiran-pikiran/ide-ide kreatif saya tentang bagaimanakah seseorang tersebut bisa berbuat baik, setelah membaca puisi itu. Tidak hanya wejangan dan pitutur atau petuah saja, tapi juga terkadang berisi kritik, agar manusia tergelitik dengan kesalahan yang ada dalam dirinya selama ini.” —Aming Aminoedhin

“Menulis sastra puisi, bagi saya juga merupakan ibadah. Karena banyak puisi saya yang bicara soal tentang kebenaran nyata yang ada di dunia ini.” —Aming Aminoedhin

“Inti dari peristiwa metafora itu adalah proses transfer makna, semacam peminjaman, atau lebih tepatnya pemindahan, sebab seluruh makna yang terkandung dalam kata yang dipinjam itu, seluruhnya terbawa kepada kata yang hendak diberi penjelasan baru.” —Hasan Aspahani

“Penyair yang baik adalah dia yang jeli mengamati hubungan-hubungan kata. Ia memahami benar makna denotatif setiap kata. Ia cermat melihat kemungkinan-kemungkinan pemindahan makna-makna itu untuk menciptakan pengucapan yang khas, menciptakan makna-makna konotatif baru, dan menciptakan metafora yang segar dalam puisinya.” —Hasan Aspahani

“Dalam metafora – sebagai mana bahasa kias lain – ada sasaran/tujuan (tenor) dan wahana/sarana (vehicle). Yang pertama adalah apa yang hendak dijelaskan yang kedua apa yang dipakai untuk menjelaskan itu.” —Hasan Aspahani

“Intinya adalah pepatah tadi membuktikan bahwa sesuatu hal bisa dijelaskan lewat perihal lain, yang keduanya punya makna yang jauh sekali berbeda.” —Hasan Aspahani

“Akan tetapi tentu bukan keindahan itu benar yang jadi harga sebuah pepatah yang ditenagai oleh metafora.” —Hasan Aspahani

“Kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi dan tenaga atau daya ungkap bahasa itulah yang membuatnya hidup dan menghidupkan bahasa. Dengan sebuah pepatah atau peribahasa, suatu pesan dapat digambarkan dengan tepat sekali.” —Hasan Aspahani

“Komedian bisa bertanya dengan efek jenaka, ‘meja makan di rumahmu nomor sepatunya berapa?’ Jika ini sebuah tohokan (punchline), maka premis-nya adalah ‘kaki meja’ itu.” —Hasan Aspahani

“Metafora adalah perangkat penting dalam puisi, maka pakailah, berdayakan dia. Jangan memakai metafora yang instan, yang siap pakai, dan tinggal comot.” —Hasan Aspahani

“Hati-hati karena bisa tak sengaja terambil metafora mati. Penyair justru harus melihat dan memanfaatkan kemungkinan menghidupkan metafora yang mati. Matahari misalnya. Dengan bantuan perangkat puitika lain, personifikasi misalnya, bisa dihidupkan, dibangkitkan dari kematiannya.” —Hasan Aspahani

“Matahari menggeliat, kata Sapardi dalam sebuah sajaknya. Kita bisa juga membayangkan “hari terbangun dan mengucak matanya”. Atau kemungkinan-kemungkinan lain.” —Hasan Aspahani

“Sungguh yang saya temukan adalah bahwa suaramu benar-benar tentang selusin suara orang lain yang telah kamu ubah.” —Austin Kleon

“Semua yang kamu butuhkan untuk membuat karya yang luar biasa ada dalam kehidupan biasa. Kamu hanya perlu memperhatikannya.” —Austin Kleon

“Konon puncak ketidaktahuan melahirkan ketakjuban. Sesuatu yang sesungguhnya tak terjelaskan, hanya mungkin dihayati dengan rasa takjub.” —Taufiq Wr. Hidayat

“Bagi Ismail Marzuki, yang cerlang dan gemilang tak harus berada dalam terang. Yang cerlang dan gemilang hanya tampak di dalam kegelapan.” —Taufiq Wr. Hidayat

“Iman mengandung kepastian, tetapi juga memendam ketidakpastian-ketidakpastian yang meragukan, cemas, dan berharap-harap. Lalu bagaimana ia dapat menuju terang, jika ia tak pernah merendah hati berhikmat pada kegelapan?” —Taufiq Wr. Hidayat

“Kalau ada cara estetik beribadah tanpa merusak niat beritibak pada jalan yang diridai-Nya, barangkali berkarya adalah pilihannya. Sebab, berkarya itu adalah menghadirkan sesuatu di hadapan manusia dengan berharap dampak kebaikan dapat menolongnya di hadapan Tuhannya.” —Agoy Tama

“Beberapa hal mendasar ternyata terletak di luar jangkauan kemampuan, sehingga membutuhkan pertolongan Allah.” —Emha Ainun Nadjib

“Memberikan cerita pada sebuah produk adalah substansi di era pemasaran konten saat ini. Semakin baik cerita dan filosofinya, maka semakin melekat produk itu di benak konsumen. Semakin mudah pula bagi konsumen untuk rela menceritakan kembali kisah tersebut.” —Arif Rahman (2018)

“Manusia menciptakan puisi dengan melalui empat tahap, yaitu observasi, kontemplasi, penyaringan emosi, dan komposisi.” —Ivan Lanin

“Perasaan hati dan pendalaman batin dilibatkan oleh manusia dalam penciptaan puisi itu. Dua hal itu yang mewujudkan daya gugah tinggi pada puisi ciptaan manusia.” —Ivan Lanin

“Sementara itu, komputer menjalani keempat proses tersebut secara mekanistik dan algoritmik tanpa melibatkan rasa dan batin. Ia hanya bersandar pada pengetahuannya akan konstruksi bahasa, tanpa sentuhan realitas dan imajinasi.” —Ivan Lanin

“Puisi buatan komputer tidak memiliki roh yang sama dengan puisi ciptaan manusia.” —Ivan Lanin

“Menurut Pak Riri, keunggulan rasa dan batin harus digunakan untuk membuka ruang kreativitas baru agar manusia tidak pernah tergantikan oleh mesin.” —Ivan Lanin

“... AI belum dapat mengambil peran penyair. Namun, kehadiran AI menuntut penyair lebih kreatif dalam berkarya.” —Ivan Lanin

“Seorang psikolog kognitif & penyair asal Amerika, Keith Holyoak (2022), menyatakan bahwa 'Ketiadaan pengalaman batin membuat AI kekurangan atas sesuatu yg paling dibutuhkan utk mengapresiasi puisi: rasa kebenaran puitis berdasarkan pengalaman subjektif, bukan realitas objektif.'” —Yudhistira

“Media massa, yang diterbitkan bagi khalayak ramai, mesti berbahasa baku, yaitu bahasa jurnalistik, supaya mudah dipahami oleh pembaca dari pelbagai lapisan usia, pendidikan, dan budaya.” —Jarar F. Siahaan

“Saya menganggap bahasa yang dipakai di media sosial sebagai bahasa hibrida antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Wujudnya tulisan yang cenderung formal, tetapi penyampaiannya seperti lisan yang cenderung nonformal karena sifatnya yang interaktif.” —Ivan Lanin

“Bahasa yang dipakai pada takarir media sosial lebih lentur daripada bahasa jurnalistik yang dipakai dalam media massa lain (cetak dan elektronik).” —Ivan Lanin

“Pemakaian bahasa sesuai dengan bidang penggunaan disebut laras bahasa. Secara sederhana, laras bahasa dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu laras bahasa sastra, kreatif, jurnalistik, bisnis, ilmiah, dan hukum.” —Ivan Lanin

“Laras bahasa sastra merupakan laras bahasa yang paling luwes, sedangkan laras bahasa hukum merupakan laras bahasa yang paling kaku.” —Ivan Lanin

“Karya sastra berupa puisi, prosa, dan drama merupakan bagian dari laras bahasa sastra. Sastrawan memiliki lisensi puitis (licentia poetica) yang membebaskan mereka untuk mendayagunakan bahasa demi mewujudkan keindahan.” —Ivan Lanin

“Puisi dan sastra pada umumnya masalah bahasa ya, masalah bagaimana sastrawan itu menggunakan bahasa. Kalau bahasanya baru, dia mendobrak, bukan puisinya, tapi bahasanya.” —Sapardi Djoko Damono

“Chairil besar karena mendobrak pengucapan pada zaman itu. Dia mempunyai gaya baru dalam penulisan puisi dan gaya itu diperlukan untuk mengungkapkan keadaan diri sendiri dengan zaman waktu dia hidup. Karena zaman waktu dia hidup kan berbeda dengan zaman waktu perang.” —Sapardi Djoko Damono

“Lingkungan Chairil beda, tapi puisinya tentang cinta, kerinduan, kemarahan. Itu sama saja. Tapi cara memprotes dan menyampaikan cinta itu sangat berbeda. Chairil menggunakan bahasa baru, bukan dari bahasa buku, melainkan bahasa lisan sehari-hari yang terus berkembang.” —Sapardi Djoko Damono

“Derai-Derai Cemara kan indah sekali sajaknya, sangat tenang dan tidak menunjukkan Chairil yang biasanya disebut kebanyakan bertingkah ‘binatang jalang’ atau pemberontak. Sama sekali berbeda.” —Sapardi Djoko Damono

“Karena itu puisi yang hanya menghamparkan pernyatan berisi konsep atau rumusan kering, jargon kaku, slogan-slogan klise bahkan basi tak akan memikat pembaca. Seperti menelan makanan kering yang belum terkunyah dengan baik. Seret.” —Hasan Aspahani

“Tugas penyair adalah menyeimbangkan pelibatan dua hal itu: pikiran dan perasaan, permenungan dan keterharuan. Kata yang dipilih, ungkapan yang diciptakan, kiasan atau perbandingan yang dihadirkan, harus jalin menjalin, saling menjaga, memberi ruang, mengutuhkan seluruh unsur persajakan yang dipilih untuk diberdayakan dalam puisi kita.” —Hasan Aspahani

“Apabila momen puitis datang, tangkaplah. Caranya dengan mencatat. Ingat, bukan sekadar mengingat, tetapi mencatat.” —Hasta Indriyana

“Empat hal dasar yang diperhatikannya ialah diksi yang kuat, citraan yang hidup, metafora yang segar, serta rima dan irama yang selaras. Selain itu Jokpin juga menimbang keunikan perspektif dan kreativitas dalam mengolah dan memainkan kata-kata.” —Ivan Lanin

“Ketika membahas karya orang lain, Jokpin tampaknya selalu mencari benang merah di antara puisi-puisi dalam antologi itu. Benang merah itu sering dikaitkannya dengan latar belakang si penulis.” —Ivan Lanin

“Adalah menarik bahwa sajak-sajak terkuat Sitor justru sajak-sajak yang digubah dalam bentuk terikat yang ketat, yang bersumber pada pola-pola persajakan lama seperti pantun dan syair.” —Joko Pinurbo, Berguru kepada Puisi, hlm. 18

“Di antara mereka hanya satu-dua yang tersangkut di tong sejarah. Puisi-puisi ditulis, kemudian lenyap. Kumpulan diterbitkan, kemudian tertimbun oleh peristiwa-peristiwa. Sebab kita hanya butuh juara-juara. Kita hanya mau yang terbaik. Kita hanya menghitung nucleolus-nucleolus.” —Emha Ainun Nadjib

“Puisi ditulis, kemudian dikomunikasikan dengan (1) cukup tulisan itu sendiri, dan (2) dengan lisan. Dua media komunikasi yang merupakan ‘dua dunia’ yang amat berbeda.” —Emha Ainun Nadjib

“Komunikasi tulisan pada umumnya lebih pasif. Terutama karena ia hanya bergantung pada tingkat permintaan di pasaran, dan puisi bukanlah ‘bibit unggul’ sebagai komoditi. Penerbitan buku puisi adalah penerbitan ‘perjuangan’. Seret lakunya. Majalah ‘Horison’ terbata-bata, dan kumpulan puisi tak jarang cukup dibagi-bagi antar kawan.” —Emha Ainun Nadjib

“Sebab di dalam berkomunikasi kita harus mau tahu terhadap alam dunia orang yang kita hadapi. Kita toh tidak ingin menjadi tiran yang membabi-buta.” —Emha Ainun Nadjib

“Setiap penyair punya jawaban dan sikapnya sendiri-sendiri. Tapi memang itulah salah satu perbedaan antara komunikasi puisi tulisan dan lisan. Pada yang pertama, puisi tulisan itu dibaca oleh orang yang memang mau membeli dan membacanya. Tapi puisi lisan, kita lebih sering berhadapan dengan orang yang belum tentu mau, apalagi siap, mendengarkan puisi kita. Tantangan dan tuntutannya sangat lain.” —Emha Ainun Nadjib

“Metafora—sebagai sebuah gaya bahasa—dengan begitu telah membantu kita menjelaskan atau mengekspresikan perasaan kita dengan baik, dalam arti mudah dipahami oleh mitra bicara kita.” —Hasan Aspahani

“Metafora adalah peristiwa dalam bahasa, yaitu ketika kita memakai sifat-sifat, pengertian, atau makna suatu hal (tentu saja itu terangkum dalam sebah kata) untuk menjelaskan hal lain (yang juga terhimpun dalam kata lain), yang keduanya secara maknawi berjarak.” —Hasan Aspahani

“Dalam puisi metafora – bukan sekadar gaya bahasa – merupakan perangkat puitika penting.” —Hasan Aspahani

“Penyair yang baik adalah dia yang jeli mengamati hubungan-hubungan kata. Ia memahami benar makna denotatif setiap kata. Ia cermat melihat kemungkinan-kemungkinan pemindahan makna-makna itu untuk menciptakan pengucapan yang khas, menciptakan makna-makna konotatif baru, dan menciptakan metafora yang segar dalam puisinya.” —Hasan Aspahani

“Jujur, isi buku gua juga 50% pengalaman yang gua kumpulin dari eksperimen gua; 50% 'insight' dari gua baca buku, ikut kelas, webinar, ngobrol sama mentor. Jadi, gua juga nggak bikin riset baru, tapi gua bisa menyajikan dengan cara-cara baru yang lebih baik.” —Fellexandro Ruby

Pateda (2011:11) menjelaskan bahwa alat bicara manusia yang menghasilkan bunyi bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu bentuk (form) dan makna (meaning). Sedangkan Gleason (1961:2) mengemukakan dua unsur tersebut dinamakan “expression” dan “content”, oleh Humboldt disebut “auzzere vorm” dan “innere vorm” oleh St. Takdir Alisyahbana (1972) disebut bentuk lahir dan bentuk batin, sedangkan oleh F. de Saussure (terjemahan Wade Baskin: 1974:67) disebut dengan signified (signifie) dan signifier (signifiant). —Noermanzah

“Penyair bukan membuat sesuatu dari yang tiada. Sajak adalah jadi-jadian, lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki, dan dibina oleh si penyair.” —Sitor Situmorang

“Jangan bikin yang ruwet, sajak itu sesuatu yang sederhana, manusiawi, dan terjadi sehari-hari.” —Sapardi Djoko Damono

“Kalau pagi kita jalan ke barat, di belakang kita matahari. Bayang-bayang ada di depan, masa saya harus memaksa agar saya di depan bayang-bayang? Maka saya tulis Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.” —Sapardi Djoko Damono

“Justru karena Juni tidak ada hujan, saya bikin ini. Mungkin hujan jatuh karena ada yang sangat mengharapkan.” —Sapardi Djoko Damono

“Saya bayangkan api dan kayu sedang bercinta.” —Sapardi Djoko Damono

“Tidak usah dipusingkan apa artinya, puisi itu untuk dihayati, tidak usah dipahami.” —Sapardi Djoko Damono

“Baca sebanyak-banyaknya, kemudian tiru.” —Sapardi Djoko Damono

“Lama-lama akan jadi diri sendiri. Harus nulis puisi sebanyak-banyaknya, meniru sebanyak-banyaknya, kalau sudah meniru seratus orang akan jadi diri sendiri.” —Sapardi Djoko Damono

“Modal seorang penulis adalah penguasaan bahasa.” —Sapardi Djoko Damono

“Namun, peralihan karir seorang penyair menjadi prosais, banyaknya merupakan cerita mengenai orang-orang yang kalah.” —Ageng Indra

“Meskipun kita menganggap kreativitas sebagai penciptaan sesuatu yang unik, sebagian besarnya tidaklah demikian. Faktanya, sebagian besar dari apa yang kita alami sebagai sesuatu yang “baru” hanyalah mengambil hal-hal lama dan mencampurnya kembali dengan cara-cara yang baru atau tak terduga.” —Mark Manson

“Daripada bertanya pada diri sendiri, 'Bagaimana cara menciptakan sesuatu yang baru?' tanyakan pada diri sendiri, 'Bagaimana cara mengubah sesuatu yang lama agar terasa baru?'” —Mark Manson

“Salah satu kritik yang paling umum terhadap buku-buku saya adalah bahwa saya tidak 'menciptakan' sebagian besar saran yang saya berikan.” —Mark Manson

“Alih-alih berfokus pada kebahagiaan dan kepositifan, saya berfokus pada rasa sakit . Alih-alih menjual visi kesuksesan kepada orang-orang yang putus asa, saya membantu orang mempertanyakan definisi kesuksesan mereka.” —Mark Manson

“Karya kreatif bukan hanya kreatif karena 'baru'—karya kreatif juga kreatif karena menambahkan nilai tertentu ke dunia.” —Mark Manson

“Ketika saya menulis buku saya, The Subtle Art of Not Giving a F*ck , hampir seluruh isi buku itu hanyalah cara licik untuk membuat orang berpikir tentang nilai-nilai mereka dengan lebih jelas. Ada sejuta buku pengembangan diri di luar sana yang mengajarkan Anda cara mencapai tujuan dengan lebih baik, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mempertanyakan tujuan apa yang seharusnya Anda miliki sejak awal. Tujuan saya adalah menulis buku yang melakukan hal itu.” —Mark Manson

“Karya kreatif bukan hanya kreatif karena 'baru'—karya kreatif juga kreatif karena menambahkan nilai tertentu ke dunia.” —Mark Manson

“Everything is a Remix'” —Kirby Ferguson

“Tanpa film-film sebelumnya, tidak akan ada Star Wars. Penciptaan memerlukan pengaruh.” —Kirby Ferguson

“Dengan cara yang sederhana, menyalin adalah cara kita belajar.” —Kirby Ferguson

“Tak ada yang memulai pada awalnya. Kamu perlu menyalin untuk membuat dasar-dasaranya tentang pengetahuan dan pemahaman dan setelah itu, semuanya bisa mulai menjadi menarik.” —Kirby Ferguson

“Berikut unsur-unsur dasar kreativitas: menyalin, mengubah, dan menggabungkan.” —Kirby Ferguson

“Kita semua diciptakan dari bahan yang sama.” —Kirby Ferguson

“Kita tidak pernah malu dalam mencuri ide-ide hebat.” —Steve Jobs

“Aku akan menghancurkan android karena itu adalah produk curian. Aku bersedia untuk masuk ke dalam perang termonuklir untuk ini.” —Steve Jobs

“... kebahagiaan suami dan isteri itu tidak bisa dibeli atau dijual di toko seperti kita beli barang. Karena kebahagiaan hanya bisa diraih dengan kompetensi, termasuk di dalamnya ilmu, value, skill, attitude, interest.” —K.H. Hafidz Abdurrahman

“Salah satu teoriku adalah bila orang memberimu saran, mereka justru berbicara dengan diri sendiri di masa lalu.” —Austin Kleon

“The act of writing is to me to listen,” —Jon Fosse in his Nobel lecture

“Hasil eksperimen Mehta dan Zhu mengungkapkan petunjuk berharga yang berlawanan dengan intuisi dalam ilmu kreativitas, bahwa dalam rangka mendorong pemikiran untuk bekerja luar biasa, hal pertama yang terkadang perlu dilakukan adalah membuat kotak pemikiran lebih kecil dan semakin kecil. Mengekang pikiran dengan pilihan yang makin sedikit, hingga tidak ada pilihan selain membangun ulang pilihan-pilihan tersebut dengan cara tidak biasa. Dengan kata lain, kreativitas tidak muncul sebagai bawaan lahir. Hal tersebut lebih sebagai reaksi terhadap lingkungan dan situasi yang memaksa seseorang memanfaatkan sumber daya yang ada dengan cara terbaik.” —Peter Hollins, How to Think Like Sherlock Holmes: 48

“Bukannya membatasi inspirasi atau orisinalitas, aturan-aturan tersebut justru memacu imajinasi dan kreativitas.” —Peter Hollins, How to Think Like Sherlock Holmes: 54—55

“Anda juga membutuhkan periode pemulihan agar kreativitas tetap optimal. Ada dua cara utama yang dapat Anda libatkan dalam periode pemulihan: istirahat dan tidur.” —Peter Hollins, How to Think Like Sherlock Holmes: 56

“The idea that creativity happens due to some lightning strike of inspiration is a myth. Inspiration happens during the work, not before it.” —Mark Manson

“Creative people don’t “find time” to be creative—they put in the time to be creative.” —Mark Manson

“There’s almost a direct correlation between how much someone created and how original their work ended up being.” —Mark Manson

“Sebuah kesuksesan tidak diraih secara tiba-tiba. Butuh kerja keras dan latihan yang konsisten dalam waktu bertahun-tahun bagi siapapun yang ingin menjadi seorang jenius di bidang yang ditekuninya.” —Himam Miladi, Menulis Itu Menyenangkan: 153

“Bahkan orang-orang dengan talenta besar jarang menghasilkan karya luar biasa sebelum berpuluh-puluh tahun berlatih.” —Himam Miladi, Menulis Itu Menyenangkan: 153

“Tidak seorang pun yang bisa menghasilkan karya kreatif yang luar biasa tanpa mempraktikkannya setidaknya selama satu dekade. Inilah aturan pertama dari hukum 10 tahun kesunyian (10 Years of Silence) versi Hayes.” —Himam Miladi, Menulis Itu Menyenangkan: 156

“Tanpa hambatan atas hasil yang diharapkan, Anda akan cenderung terpaku pada solusi nyaman tetapi tidak menarik. Sebaliknya, kenalkan hambatan-hambatan dan Anda akan berada di jalan menuju penciptaan berbagai ide kreatif, yang tidak pernah terbayangkan.” —Peter Hollins, How to Think Like Sherlock Holmes: 50

“It turns out that the secret to the creative 'greats' throughout history is less that they were creative geniuses and more that they were work-ethic geniuses.” —Mark Manson

“Plato wrote that boredom is the mother of all invention. Our minds become creative because it helps us avoid the inherent anxiety of our own existence.” —Mark Manson

“What I learned that year was that there is no difference between inspiration and lack of distraction. They are the same thing.” —Mark Manson

“They understand that creativity isn’t an invention, it’s a reinvention.” —Mark Manson

“This lays the foundation for the rest of the creative process, providing a well of knowledge and experience in the elements of the trade that can be remixed with each other to come up with new creative work in itself. Creativity is as much immersing yourself in your chosen field as it is contributing to and advancing it.” —Mark Manson

“Find people who you want to emulate and start emulating them. Get a job or an apprenticeship with someone who has a lot more experience than you, do everything they tell you to do—then do more on your own.” —Hunter, S., Bedell, KE, & Mumford, MD (2007)

“You don’t develop your own style or voice ex nihilo. You develop it by first understanding somebody else’s style and voice, and then differentiating yourself from it to create your own.” —Mark Manson

“Life is short and art is long.” —Hippocrates

“Our life follows the image of a bow. The highpoint of this bow comes at the thirty-fifth year” —Dante

“At first, when people hear of a novel idea, a lot of them will laugh it off as ridiculous, outlandish, unnecessary, or just plain dumb. It’s here that the artist “buys” the idea at its low value, then finds a way to refurbish and “flip it” into something of higher value that the world understands and appreciates.” —Mark Manson

“Understand your market. Learn to spot undervalued ideas and assets. Develop the skill to repurpose them into something people enjoy and value.” —Mark Manson

“I write because I would like to live forever.” —Reginald Shepherd

“As is painting, so is poetry: some pieces will strike you more if you stand near, and some, if you are at a greater distance: one loves the dark; another, which is not afraid of the critic’s subtle judgment, chooses to be seen in the light; the one has pleased once the other will give pleasure if ten times repeated ....” —Horace

“‘Danger invites/rescue—I call it loving, as James Tate wrote in his early poem ‘Rescue. That project is over, not completed but abandoned (as Paul Valéry said all poems are), but the attempt to rescue my mother through poetry was a major motivation for many years.” —Reginald Shepherd

“Sekali berarti sudah itu mati,” —Chairil Anwar

“Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” —Sapardi Djoko Damono

“Art reminds us of the uniqueness, particularity, and intrinsic value of things, including ourselves. I sometimes have little sense of myself as existing in the world in any significant way outside of my poetry. That’s where my real life is, the only life that’s actually mine.” —Reginald Shepherd

“You will have it in your power to blot out what you have not made public: a word once sent abroad can never return.” —Horace

“Art is a simulacrum of life that embodies and operates by means of death. The aesthetic impulse is the enemy of the lived moment: it attempts both to preserve and to transcend that moment, to be as deeply in the moment as possible and also to rise beyond it.” —Reginald Shepherd

“It’s the promise that beauty is possible and the threat that it’s only momentary: if someone doesn’t write it down it’s gone. The moment vanishes without a trace and then the person who experiences that moment vanishes and then there’s nothing.” —Reginald Shepherd

“Poetry rescues nothing and no one, but it embodies that helpless, necessary will to rescue, which is a kind of love, my love for the world and the things and people in the world.” —Reginald Shepherd

“It’s the promise that beauty is possible and the threat that it’s only momentary: if someone doesn’t write it down it’s gone.” —Reginald Shepherd

“Jagalah ilmu dengan menulis.” —Muhammad Rasulullah

“Mewujudkan karya yang kuat memakan waktu lama—bisa seumur hidup, malah—tetapi syukurlah, kamu bisa melaluinya secara bertahap. Jadi, lupakan dekade, lupakan tahun, dan lupakan berbulan-bulan. Fokuslah pada proses harian.” —Austin Kleon

“Sekali sehari, setelah merampungkan tugas rutin, kembalilah pada dokumentasi proses berkaryamu dan temukan satu kepingan kecil yang bisa kamu bagi.” —Austin Kleon

“I didn’t sit down to write thirteen chapters so much as I lived each chapter over time, tackling insecurity, collaboration, fear, tapping into my true self, and basically just navigating the world of working for yourself.” —Adam J. Kurtz

“... sometimes, the internet just likes what it likes, and it’s smart to build on that success when you hit your stride.” —Adam J. Kurtz

“Engkau bisa tapa ngrame. Aku sendiri melakukannya tiap hari. Aku bekerja keras tiap saat, aku selalu dalam suasana perjalanan hampir tiap hari, aku selalu berada di tengah orang banyak hampir kapan saja. Bahkan ketika mengetik itupun berseliweran banyak orang di sekitarku. Tapi hatiku tetap bersedekap.” —Emha Ainun Nadjib

“Islam adalah agama pembebasan (dari nafsu keduniawian yang memerosokkan manusia di dalam kebinasaan) atau penyelamatan (berdasarkan konsep takdir-Nya). Dan puasa ditunjukkan oleh sikap Allah itu sebagai metode yang paling prakti—tetapi mendasar bagi proses pembebasan dan penyelamatan manusia atas dirinya sendiri.” —Emha Ainun Nadjib

“Syahadat adalah fundamen keselamatan. Shalat adalah tiang yang berdiri statis. Puasa adalah pedoman manajemen kehidupan di setiap rumah, masyarakat, negara, kebudayaan, dan peradaban. Zakat adalah “minyak pelumas” bekerjanya “mesin hidup” dan penyeimbang mekanisme. Sementara haji adalah “makuto” puncak-puncak pencapaian ibadah kehidupan manusia.” —Emha Ainun Nadjib

“Metode pembebasan bagi kehidupan justru melalui cara mengendalikan, menyadari batas-batas, kesanggupan menyaring, menyeleksi dan mensublimasikan. Ini berlaku dalam hal apa saja.” —Emha Ainun Nadjib

“Kita tak mungkin menjalankan politik kenegaraan dengan cara melampiaskan kekuasaan sewenang-wenang, kecuali memang kita menargetkan kehancuran di depan, lambat atau cepat.” —Emha Ainun Nadjib

“Husnul khatimah dan su'ul khatimah itu, menurut para ulama, ditentukan berdasarkan kebiasaan seseorang.” —KH Hafidz Abdurrahman, MA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar