19 Jul 2021

ASAL MULA SAPARDI DAN HUJAN BULAN JUNI

Sembari mengemasi kangen yang kliyengan,
kepalaku mencari-cari ingatan tentang hujan
yang jatuh di halaman depan rumah Sapardi.

Lalu aku buka halaman pertama dengan
hati-hati: Prakata; sebelum kata, ada kita.

Menurut pengakuan Sapardi,
ia menemukan hujan tanpa nama.
Lalu ia bawa masuk rumah dengan
hati terbuka. Diletakkannya hujan tanpa
nama itu di sebuah rongga rak kosong,
di sisi buku-buku.

“Rupanya dia anteng juga, ya!”
kata Sapardi sambil nyengir kegirangan.

Ya, begitulah Sapardi ketika punya mainan
baru. Seperti Sapardi kecil yang suka main
wayang kulit, layang-layang, dhelikan, dan
mengirim cerita yang benar terjadi,
tapi ditolak dan dianggap tidak masuk akal
oleh redaksi.

Senja sudah lewat, malam mendekat,
makin pekat. Secangkir kopi menjaga Sapardi
dan mengatur ritme bunyi mesin ketik tuanya
sampai pagi. Sementara hujan tanpa nama
itu masih saja anteng di rongga rak,
di sisi buku-buku itu.

Tengah malam yang gigil. Tiba-tiba Sapardi
berhenti mengetik, mencari-cari sesuatu—
seperti ada yang memanggil. Ternyata,
sumber suara itu berasal dari sebuah
rongga rak, di sisi buku-buku.

Begitulah mulanya. Maka sejak saat itu,
Sapardi kembali menulis dan terus menulis
sampai pagi—sampai benar-benar pagi
ketika matahari menyembul di balik hari
dan jari-jari bunga mulai terbuka lagi.

Lalu hujan tanpa nama itu ditebar
di halaman-halaman buku yang ditulis
Sapardi sendiri—dengan mencuri tubuh puisi.
Dan kini ia terselip di ujung mata pisau,
berenang di sebuah kolam, berlayar dengan
perahu kertas, hingga terjebak di sebuah
bulan dan tidak bisa keluar lagi. Pada akhirnya,
ia dikenal abadi dengan nama
hujan bulan Juni.

Malang, 19-7-2021

*Mengenang satu tahun Sapardi Djoko Damono berpulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar