10 Apr 2019

CAMBUK NASIHAT PADA BILANGAN 24


Dua puluh empat, bukan lagi angka yang sedikit. Harusnya ada kedewasaan yang tumbuh di dalamnya. Harusnya ada ilmu yang menjaganya. Dan mestinya sudah ada jejak panjang zikir di tiap tapak kakinya. Namun, saya yang hari ini berada di bilangan itu, merasa belum memiliki nilai-nilai itu. Maka, barangkali saya perlu mengirimkan surat teguran atau semacam cambuk nasihat untuk diri sendiri.

Dear, Agoy Tama.
Di sana, semoga baik-baik saja.

Apa kabar hatimu yang selalu berdebar berupaya untuk tetap tegar? Semoga ada saja yang selalu mampu membuatmu kuat. Dan bila tidak ada, ingat bahwa selalu ada Allah yang tidak pernah tidak memberikan nikmat. Kau tahu, hari ini adalah bagian dari nikmat Allah yang kau dapat. Bersyukurlah, kau masih sempat merasakan genap di usiamu yang ke-24.

Setiap tahun, kau selalu merasa bahwa 10 April adalah hari yang biasa-biasa saja. Tidak perlu ada yang dirayakan. Tidak perlu ada acara tiup lilin. Tidak perlu ada kado dan ucapan “selamat” dari orang-orang. Kau selalu begitu. Hanya saja, yang tidak pernah terlewatkan, kau selalu berdoa untuk menjadi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Itu saja, sudah lebih dari cukup, katamu.

“Hidup senantiasa berulang,” itu yang kau yakini selama ini, bukan?
Sebuah keyakinan yang tidak semua orang mau untuk menerimanya begitu saja. Tetapi, kau selalu percaya bahwa hidup memang berulang. Itu yang kau tuangkan dalam dirimu untuk memaknai arti kata “waktu” yang sesungguhnya.

Bagimu, waktu yang ada di dalam hidupmu itu senantiasa berulang. Akan ada saatnya seseorang berada pada satu titik mula, kemudian menuju titik yang lain, dan pada akhirnya kembali lagi. Mungkin hari ini mereka bahagia, namun waktu berputar, mereka menderita, dan waktu tetap berputar; dan kelak, pada akhirnya mereka akan kembali pada titik bahagianya lagi. Sebab, waktu senantiasa berputar dan kembali kepada titik semula dan seterusnya. Begitu arti kata “waktu” yang selalu kau genggam erat di tangan kirimu.

Banyak hal yang harus kau ingat-ingat kembali di ruang kepalamu itu. Seperti patah hatimu pada bilangan 22 menuju 23 waktu itu. Patah hati yang meremukkan segala mimpi-mimpi yang sedang kau upayakan untuk mewujud nyata. Patah hati yang menjadikanmu lemah dan berjalan seolah tidak lagi bernyawa. Patah hati itu yang membuatmu hilang arah dan tersungkur dalam kubang kepayahan. Ah, memang tidak ada habisnya membahas keterpurukkan lama yang sejatinya tidak begitu berguna—justru kadang menambah berat langkah saja. Sepertinya tidak perlu lama-lama kau ingat peristiwa itu. Ambil hikmahnya saja. Sekarang, coba ingat ingat hal lain yang barangkali mampu menjadi cambuk nasihat yang mengantarkanmu pada diri yang lebih baik dari sebelumnya.

Pada bilangan 21 waktu itu, kau pernah mengirimkan pesan singkat kepada orang tuamu. Kau menyesali semuanya. Kau meminta maaf atas segala khilaf dan salah yang kau perbuat di dalam keluarga. Kau menyampaikan apa yang tidak pernah sampai sebelumnya di telinga orang tua yang membesarkanmu. “Maaf, usia sudah segini tapi belum bisa ngasih apa-apa,” pesanmu di perantauan waktu itu.

Lagi, pada bilangan 22 kau menggelarkan 5 mimpi yang akan kau kejar di tahun itu. Namun, tidak semuanya mampu terkejar. Entah, karena kau malas berdiri atau lelah berlari. Namun, pada bilangan 23 tahun lalu, kau mengaca dalam-dalam. Melihat diri, mengoreksi, dan merenungi seluruh apa yang sudah kau ikhtiarkan. Rupa-rupanya, kau harus menyadari bahwa mimpi itu bukan untuk dikejar sampai dapat, tetapi mimpi adalah “daya” untuk terus berlari sampai tiba di liang lahat. Maka, teruslah bermimpi. Meski berat, itu cukup untuk membuatmu terus berlari.

Terakhir sebelum menutup surat ini, kau harus menyampaikan banyak terima kasih kepada siapa saja yang telah mengantarkanmu pada titik ini. Jika belum bisa menjadi yang terbaik, setidaknya bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk mereka. Silakan, ada ruang untukmu mengalirkan perasaan-perasaan yang boleh jadi telah lama kau simpan!

***

Terima kasih telah memberi saya ruang. Saya akan memenuhinya dengan rasa terima kasih kepada banyak orang. Tentu setelah rasa syukur saya kepada Maha Cinta yang memberi saya banyak cinta di hari-hari sebelumnya sampai hari ini. Kepada Maulana Muhammad Rasulullah yang memberikan dekap hangat di seluruh semesta ini. Kelak, semoga ada ruang temu yang menyatukan saya dan engkau, ya, Rasul! Saya rindu.

Saya tidak akan pernah ada jika tidak ada dua manusia yang saling mencinta dan berjuang bersama. Kepada orang tua saya, terima kasih; sejak lahir hingga sebesar ini, saya masih sering “digendong” mereka (untuk) ke mana-mana. Lagi-lagi saya harus meminta maaf karena belum mampu membahagiakan mereka seutuhnya. Atas khilaf dan salah, biarkan pudar dihantam terik upaya saya untuk mengangkat bahagia terbit di mata mereka. Sejatinya kata-kata tidak pernah cukup. Kelak, saya akan pulang membawa bukti dan menunjukkan bakti. Doakan saya jadi lebih baik di tanah rantau. Kini jarak memang lebih jauh, tetapi semoga rasa kasih sayang tetap utuh.

Kepada guru-guru saya. Terima kasih telah mengajarkan saya tentang hidup. Perihal hakikat manusia ada, tentang tujuan di dunia, dan akan ke mana manusia setelah mati. Semua itu yang sejatinya mengubah sudut pandang saya memaknai hidup.

Kepada teman-teman saya, semuanya. Terima kasih telah menjadi teman tumbuh dalam segala hal. Benar kata kalian: sendiri itu nggak asyik, susah jadi baik!

Kepada orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih sudah ada dan menjadi “monumen” terbaik dalam perjalanan hidup saya. Kelak, jika saya tidak melihat kalian surga, saya orang pertama yang akan mencari kalian dan menjadi saksi bahwa kalian adalah orang baik. Namun, jika saya yang tidak bersama kalian di surga, saya mohon untuk mencari dan memohonkan ampun untuk saya agar saya bisa merasakan nikmatnya surga bersama kalian. Yang baik, memang akan selalu bertemu dengan yang baik. Semoga ada jumpa-jumpa istimewa di teduhnya naungan surga!

***

Begitulah perasaan dan doa-doamu mengudara ke langit. Semoga kelak menjadi butir-butir hujan yang mengapus rasa sakit. Ingatlah selalu kata-katamu sendiri, bahwa doa adalah kata-kata yang berdaya.

Depok - Jakarta Selatan, 10 April 2019
Dua tahun terakhir yang berharga:
Pada Bilangan 22
Pada Bilangan 23

1 Apr 2019

APRIL ADALAH RUANG TAMU



kalender berjalan sangat cepat
jarum jam berputar amat lesat
ada yang tertingal di hari lalu
ada yang tertanggal di hari depan

januari itu hanya pintu masuk
februari serupa kamar kecil bercat merah
maret itu hanya lorong dapur yang lapuk
sementara april adalah ruang tamu yang megah

sekarang aku sedang duduk di ruang tamu itu
menunggu hidangan dari tuan rumah yang ramah
aku pesan beberapa makanan dan segelas susu
merayakan hari tua yang tak lama lagi akan tiba

Depok, 01/04/19