22 Sep 2016

PURBA RASA DAN KERUDUNG MERAH

Barangkali, merah adalah semacam kenang silam antara aku dengan ribuan malam. Mengucurkan darah di pertigaan cinta. Menghujani rasa dengan kelam silam sebuah memoar.

Aku adalah prajurit cinta. Berkalung rasa, berselempang pedang, dan bergelar pejuang, bukan pecundang. Tetapi, aku selalu mati dibunuh malam. Aku selalu jauh dari kata keberanian. Sebab, barangkali aku terlalu takut kegelapan. Aku takut gelagapan.

Hujan semesta seakan tak pernah terasa di siang hari. Tetapi, begitu lebat-mendarat-menyayat hati di malam hari. Malam seperti menerorku begitu kejam dengan tayangan-tayangan merah darah yang mengguyur rasa di pertigaan cinta.

Aku seperti tak bertulang tatkala menyaksikan, mendengar, dan menjilat kembali selaksa purba rasa. Aku terkenang kembali kala tenggelam coba berenang di genangan cinta. Entah, mengapa semuanya mendadak berlebihan. Dangkal mendadak dalam, kecil sontak besar, pendek sekejut panjang. Serba mendadak!

Seharusnya aku tak perlu larut dalam koar-kobar-memoar. Sebab, barangkali kelak di satu malam yang remang, aku akan lihat lagi kibar lain dari kerudung merah yang merebakkan harumnya mawar.

Purba rasa; kerudung merah.

Malang, 22/09/16
menulis puisi dari kata-kata yang berserakan

*Puisi ini meraih Harapan II Kompetisi Penulisan Puisi Majalah Komunikasi 2016
**Puisi “Purba Rasa dan Kerudung Merah” dimuat di Majalah Komunikasi UM, edisi 20 Juni 2017